Pasar Beringin adalah lingkungan miskin dan kumuh perkotaan di Gunungsitoli, terletak persis di tepi Sungai Nou. Lokasi ini membuat Pasar Beringin selalu terancam banjir setiap musim hujan. Ada sekitar 600 orang populasi Pasar Beringin yang terdiri dari 160 kepala keluarga. Pekerjaan masyarakat di sana mayoritas pekerja mocok-mocok (serabutan), penarik becak, pedagang kaki lima, petugas rumah potong babi (ada rumah potong di lokasi ini) dan sebagian kecil pegawai pemerintahan. Tingkat pendidikan umumnya rendah, menurut informasi masyarakat sekitar 60% mereka tidak berpendidikan bahkan masih buta aksara, hanya sekitar 7,5% yang tamat SMA. Semua situasi ini diperburuk dengan minimnya sumber daya di daerah itu. Masyarakat harus membeli air untuk minum sedang untuk air cuci dan mandi mereka menggunakan air sumur yang tersedia di lingkungan itu, yang sangat tidak memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan, keruh dan berbau. Bila banjir datang air akan menggenangi sumur sumber air mereka sehingga air semakin kotor, dengan demikian penyakit kulit dan diare sangat mudah menyerang warga. Lokasi pemukiman warga hanya sekitar 1 meter jaraknya dari tepi sungai. Warga Pasar Beringin ini tidak dapat pindah dari lokasi itu sebab tidak ada biaya untuk pindah apalagi untuk membangun rumah yang lebih aman. Organisasi masyarakat untuk PRBDM di Pasar Beringin bernama “Orudua Zato” yang artinya “perkumpulan orang banyak yang mempunyai tujuan yang sama” didirikan warga pada tanggal 26 Januari 2008.
Desa Sisobambőwő berlokasi sekitar 8 km dari kecamatan Amandraya Nias Selatan. Semarang ini akses jalan ke desa itu sudah baik estela adanya rekonstruksi oleh Badan Rehabilitasi Rekonstruksi (BRR). Sisobambowo artinya ‘keramahtamahan’. Populasi masyarakat berjumlah sekitar 700 orang terdiri dari 158 kepala keluarga (data primer yang didapt dari warga tahun 2006). Desa ini terdiri dari 4 dusun, ada sungai besar membelah desa tersebut, Sungai Neho. Bila musim hujan tiba yakni sekitar bulan Agustus s/d Februari Sisobambőwő Sangay rentan untuk terancam tanah longsor dan banjir. Penggalian batu dan pasir di sekitar sungai serta penebangan pohon untuk kegiatan rekonstruksi pasca bencana menjadi penyebab utama banjir dan tanah longsor. Organisasi PRBDM mereka bernama “Tano Fahasaradodo” yang artinya “Tanah untuk persatuan atau panggilan untuk bersatu” didirikan masyarakat pada tanggal 31 Oktober 2007.
Ramba-ramba village is located at the height of 400 metres above sea level, surrounded by hills in which the structure of the soil is not solid and prone to landslides. The level of inclination of the land is around 450. This area is surrounded by rubber plantations cultivated by villagers. CKS accompanied only one named Ramba-ramba sub-village 1, that is located around 18 km from the centre of Amandraya sub-district. Major part of the road network to access this area is in a very bad condition. In general, the main source of livelihood for the community is farming, rubber tapping and small trading. Continuous landslides have reduced the width of farm fields and rubber plantations. This condition influences and reduces the productivity of their land. This all at once affects their income. Income per capita of the community is around Rp. 800.000,- per month. The population of this sub-village has a population of around 1100 or approximately 137 households. The CMDRR organization there named “Oli Raneda” means “The Fence is our shield (from the hazard)” and was developed by the people at 30 October 2007.